Kota Tangerang | antarwaktu.com – Setelah 3 Juli 2025 digeruduk tanpa kepastian, kini gelombang yang kedua kali nya ratusan Jurnalis dan LSM turun ke jalan kembali geruduk Kantor Satpol PP Kota Tangerang, menuntut pencopotan Kasatpol PP, Kabid Gakumda serta Kasi Gakumda, pada Rabu 13 Agustus 2025.
Sebagaimana massa aksi menilai adanya dugaan ketidaktransparanan dan lambanan kinerja Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), khususnya di bidang Penegakan Hukum Daerah (Gakumda) hingga menimbulkan terabainya kepentingan publik.
Berbagai elemen dari massa aksi Jurnalis dan Lsm serta organisasi lainya tergabung dan bersatu, berlangsung menggelar aksi di Kantor Satpol PP dan Pusat Pemerintahan Kota Tangerang, mengemukakan tudingan bahwa institusi penegak Perda itu terlibat dalam praktik “pembiaran” terhadap pelanggaran, terutama bangunan tanpa Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).

Berdasarkan penelusuran dari beberapa jurnalis, keluhan masyarakat tentang bangunan ilegal kerap berakhir tanpa tindakan tegas. Beberapa sumber internal menyebut adanya “ruang abu-abu” dalam proses verifikasi aduan. Situasi ini membuka peluang terjadinya negosiasi informal antara pelaku usaha dan oknum aparat di lapangan.
LSM Geram, salah satu penggagas aksi, menyebut praktik tersebut sebagai bentuk pembiaran yang menggerus wibawa hukum. “Peraturan hanya berlaku bagi yang tak punya akses. Pelanggar yang punya koneksi justru aman,” ujar Slamet Widodo, Ketua DPC LSM Geram Kota Tangerang.
Selain isu dugaan permainan perizinan, transparansi informasi juga menjadi sorotan utama. Koordinator aksi, Syamsul Bahri, menyatakan bahwa Satpol PP seringkali enggan memberikan klarifikasi saat dimintai keterangan oleh media terkait penegakan Perda. Padahal, UU Pers No. 40/1999 dan UU Keterbukaan Informasi Publik No. 14/2008 mewajibkan badan publik untuk memberikan informasi yang relevan kepada masyarakat.

“Satpol PP ini garda terdepan penegakan Perda, tapi tertutup terhadap publik. Ini yang membuat kepercayaan masyarakat runtuh,” kata Syamsul.
Akar Masalah nya adalah Budaya Birokrasi atau Lemahnya Pengawasan?
Pengamat kebijakan publik menilai bahwa persoalan ini tidak bisa hanya dilihat dari kinerja individu pejabat. Budaya birokrasi yang lamban dan sistem pengawasan internal yang lemah menjadi faktor yang memperburuk situasi.
Di tingkat Kota, Satpol PP memiliki peran strategis: bukan hanya menegakkan Perda, tetapi juga menjadi simbol ketertiban umum. Namun, ketika fungsi ini terdistorsi oleh praktik yang merugikan publik, citra institusi pun dipertaruhkan.

Usai aksi unjuk rasa di kantor Kasatpol PP melanjutkan aksi di Kantor Walikota Tangerang, pejabat juru bicara Walikota Tangerang.Berharap ada tanggapan menyampaikan komitmen untuk memperbaiki sistem pelayanan informasi publik dan memperkuat komunikasi dengan media namun nyatanya belum membuahkan hasil.Meski demikian, banyak pihak menilai yang di btuhkan bukan lah janji, ini harus dibuktikan melalui tindakan konkret, bukan sekadar pernyataan normatif.
Bagi wartawan dan aktivis LSM yang terlibat, aksi ini adalah bentuk perlawanan terhadap praktik birokrasi yang dianggap tidak akuntabel. Jika tuntutan pencopotan pejabat tidak direspons, mereka memastikan akan kembali menggelar aksi serupa.
Seperti diungkapkan Syamsul Bahri saat menutup orasi: “Selama ada tembok penghalang informasi, selama itu pula suara kami tidak akan berhenti menggema di jalanan.”

Sementara Deni Asda yang mewakili Walikota Tangerang, menampung aspirasi yang disampaikan, pihak nya akan meneruskan kepada Walikota, hingga menunggu estimasi jawaban dengan limit waktu di tanggal 23 Agustus 2025, Atau memanggil perwakilan Jurnalis dan Lsm untuk duduk bersama secepat mungkin.
Walaupun nampak kekecewaan dari segenap Jurnalis dan Lsm Bersatu dengan tidak bertemu langsung sama Walikota Tangerang, namun kepastian dari jawaban masih dalam penantian, dan tidak segan jika tidak direspon atas aspirasi tersebut, jurnalis dan Lsm Bersatu itu akan melakukan aksi Demo Besar-Besaran di Pusat Pemerintahan Kota Tangerang.
(Dina/Antonius)