Ngawi | antarwaktu.com – Berjarak sekitar 5 kilometer dari Kota Ngawi berdiri penuh keanggunan, sebuah gemintang keharmonisan di tengah keriuhan jalan desa Desa Widodaren Kecamatan Gerih yang dijuluki Desa Pancasila sebuah desa yang menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang bahwa kerukunan dan kedamaian merupakan dua pilar penting dalam masyarakat yang majemuk.
Desa Widodaren adalah rumah bagi warga dari berbagai pengeyatan agama; Islam dan Kristen yang telah memelihara dan memperkokoh harmoni kehidupan mereka selama lebih dari setengah abad.
Keberagaman mereka tidak menjadi penghalang, namun sebaliknya, memperkuat ikatan persaudaraan dan penghargaan
Salah satu simbol yang paling merepresentasikan kerukunan ini adalah kehadiran dua rumah ibadah dalam jarak yang dekat, sekitar 200 meter dari balai desa, dan di dekat sebuah lapangan. Di sana, berdiri megah Masjid Al-Kirom dan Gereja Katolik Santo Antonius.

Menariknya toleransi ini berlangsung alami, tanpa ada deklarasi atau pertemuan yang terkesan artifisial.
Sebagai contoh, pada saat umat Kristiani sedang melaksanakan perayaan hari besar maka warga yang Islam akan berkunjung bersilaturahmi. Bahkan pada saat melaksanakan ibadah, warga non Islam ikut menjaga keamanan keberlangsungan ibadah begitupun sebaliknya.
“Sementara Waktu Kepala Desa Widodaren Kecamatan Gerih Petrus Bagoes Wijayanto Saat dikonfirmasi melalui tlpn Selulernya Sabtu (2-8-2025) menyampaikan Warga yang hidup di sini, saling menghormati, saling menjaga silaturahmi dengan tetangga, teman, maupun rekan kerja yang berbeda agama. Saling tolong menolong orang lain yang tertimpah musibah walaupun latar belakang agama mereka berbeda-beda,
Kepala Desa Widodaren mengatakan warga di sini kawin mawin mewarnai kehidupan Desa Widodaren Bahkan, sambung dia, ada yang tinggal dalam satu rumah dengan agama yang berbeda-beda.
Meski hidup satu atap yang sama dengan keyakinan yang berbeda-beda, namun mereka menunjukkan harmonisasi keberagaman”Terang Petrus .
Pengakuan senada disampaikan Masyarakat Desa Widodaren . Menurut Masyarakat toleransi antarumat beragama terjalin sangat baik dan harmonis. Penduduk muslim yang mayoritas menghargai minoritas umat Kristiani dan Kristen demikian sebaliknya.
Di sini mayoritas Islam. Walaupun kami mayoritas tapi tetap merangkul yang minoritas. Jadi tidak ada yang merasa besar dan merasa kecil. Jadi di antara dua agama itu saling berdampingan. Toleransi itu bukan hanya diterapkan di tengah masyarakat. Tetapi, juga diterapkan dalam rumah tangga. Karena, dalam satu rumah terkadang ada yang tinggal dengan dua agama yang berbeda,” ujarnya.
Salah satu contoh tolerasi disini adalah saling silaturahmi pada saat perayaan hari besar. Silaturahminya itu bukan langsung ke bagian agamanya tetapi silaturahmi berkunjung ke tempat ibadahnya. Misalnya umat muslim sedang menjalankan ibadah Idul Fitri, umat Kristen membantu menjaga pengamanannya dibagian luar masjid
Pun demikian, saat umat Kristiani sedang menjalankan ibadah. Kami dari Muslim membantu menjaga pengamanannya dari luar,” tuturnya.
Uztas berharap warga diluar sana mencontoh keharmonisan antar umat beragama yang ada di Desa Widodaren
“Contohlah Widodaren Walaupun Widodaren itu hanya satu Desa tetapi saling menerapkan toleransi umat beragama. Jadi kami yang mayoritas tidak merasa besar yang minoritas tidak merasa kecil. Sehingga, diantara tiga dua agama itu saling guyub, rukun antara satu agama dengan yang lain,” pesannya.
(Sutrisno/Red)