Jakarta | antarwaktu.com – Sejumlah kasus peredaran obat keras ilegal golongan G di temukan di beberapa tempat di wilayah DKI Jakarta, khususnya di wilayah Jakarta Timur, yang peredarannya sangat bebas sehingga menimbulkan keresahan di masyarakat.
Tramadol dan Hexymer yang termasuk obat keras jenis golongan G bisa ditemukan dan dapat secara bebas dan mudah untuk mendapatkan tanpa harus memakai resep dokter sesuai anjuran penggunaan nya.
Tiga orang jurnalis, Haidar Kosim (38), Asep (45) dan Edi (29) saat sedang melakukan investigasi terkait adanya dugaan peredaran obat keras golongan G tanpa resep dokter yang dijual secara bebas disalah satu toko kosmetik di Pulo Gadung Jakarta Timur, naas nya malah terjadi penganiayaan secara brutal yang di lakukan oleh sekelompok orang yang di duga mafia obat- obatan terlarang.
Peristiwa penganiayaan ke 3 awak media yang sedang menjalankan tugas Jurnalistiknya yang terjadi pada Selasa malam (25/2/25) Pukul 23:30 WIB di depan toko kosmetik, di Jl. H. Raya No 16 A, RT 01 RW 01 Kelurahan Rawamangun Kecamatan Pulo Gadung Jakarta Timur.

Dalam peristiwa tersebut, Haidar salah satu dari tiga jurnalis Tak hanya mengalami luka robek akibat sabetan samurai dipunggung nya, Namun Hp miliknya dengan sengaja direbut dan dibanting hingga pecah dan rusak. Para pelaku dengan brutal dan sadis menyerang secara membabi- buta menggunakan Senjata tajam (Sajam) berbentuk samurai dan stik golf.
Selain itu, para pelaku melakukan pengrusakan mobil dengan memecahkan kaca belakang mobil merk HR-V milik korban juga yang turut menjadi sasaran amarah para pelaku, dimana para pelaku yang berinisial ISN membawa Samurai bersama satu teman nya membawa stik golf.
Sementara Rohman yang juga pada peristiwa sedang berlangsung, dirinya bernasib sama tidak terlepas dari amukan dan dipukuli hingga tersungkur.
Menurut sumber dan saksi di lokasi, wartawan tersebut sedang mendokumentasikan aktivitas ilegal toko obat keras yang diduga menjual Tramadol, Eximer dan lain- lain tanpa izin. Dan selang beberapa waktu kemudian pemilik usaha ilegal itu naik pitam nelepon memberitahukan temen-temen nya.

“Awalnya mereka hanya mengusir, tapi tiba- tiba menyerang dengan stik golf dan samurai. Saya lihat darah berceceran dari para korban, “ujar Rohman saksi mata dan juga korban salah satu korban.
Serangan terhadap wartawan bukan sekadar kriminal biasa. Ini adalah upaya membungkam kebebasan pers dan kebenaran. Padahal, Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers Pasal 18 ayat (1) jelas menyatakan bahwa menghalangi kerja jurnalistik dapat dipidana hingga 2 tahun penjara dan denda Rp500 juta.
Namun pertanyaannya, apakah aparat akan benar-benar menegakkan hukum? Ataukah kasus ini akan dibiarkan seperti kasus- kasus lainnya yang berakhir tanpa kejelasan?

Terkait peristiwa tersebut, apakah Aparat Penegak Hukum (APH) khususnya Polres Jakarta Timur diam seribu bahasa atau akan mengambil tindakan tegas untuk menangkap para pelaku usaha ilegal yang sudah menganiaya para Jurnalis dan selain itu juga usaha ilegal itu yang sudah sangat meresahkan masyarakat. Ini tantangan bagi penegak hukum untuk menindak tegas.
“Kami menuntut agar pihak kepolisian segera menangkap pelaku penganiayaan dan mengusut siapa dalang besar di balik bisnis haram ini’, “kata Haidar, yang menjadi korban penganiayaan.
Jika aparat masih diam, maka jelas bahwa peredaran obat Tramadol, Eximer dan lain-lain bukan sekadar bisnis gelap biasa, tetapi bisnis yang memiliki beckingan kuat di balik usaha ilegal.
Jika wartawan yang mencoba membongkar kebenaran saja bisa diserang, lalu bagaimana dengan masyarakat sipil biasa?
Sekedar informasi, bahwa jenis Tramadol termasuk dalam kelas obat yang disebut Agonis Aploid. Sebagaimana diketahui pasal tentang penyalahgunaan obat- obatan , yakni pasal 196 jo pasal 197 UU Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Pasal 197 disebutkan, bahwa setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (Lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000 (Satu milyar lima ratus juta rupiah).
(Team)