Selesai Dibahas Komprehensif, RUU KUHAP Harus Segera Disahkan
Jakarta | antarwaktu.com – Setelah melalui pembahasan panjang dengan berbagai kalangan akademisi dan praktisi hukum serta lembaga-lembaga pemerintahan dan organisasi lembaga swadaya masyarakat di bidang hukum dan hak asasi manusia, maka sudah seharusnya DPR-RI segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) sebagai peraturan pelaksana atas Kitab Undang-Undang Hukum Nasional (KUHP Nasional) yang akan berlaku di awal tahun 2026.
Proses penyusunan RUU KUHAP dilakukan secara partisipatif dan terbuka melibatkan banyak pihak seperti akademisi, praktisi, aparat penegak hukum, organisasi profesi, organisasi masyarakat sipil, kelompok rentan dan penyandang disabilitas.
Pelibatan berbagai pemangku kepentingan tersebut untuk mendapatkan masukan dalam penyusunan RUU KUHAP dan pembahasannya sebagai bentuk partisipasi publik.
Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi 3 DPR-RI merupakan agenda konsultasi publik itu turut membahas dan memastikan kejelasan dan pembagian kewenangan antara aparat penegak hukum (APH) agar tidak tumpang tindih.
Dengan rapat dengar tersebut, maka publik turut mendukung terciptanya hukum acara pidana yang efisien, transparan, adil, dan tetap menjunjung tinggi HAM.
Partisipasi masyarakat memberikan peluang untuk memberikan masukan agar nantinya lebih siap menghadapi implementasi undang-undang ini kelak.
RUU KUHAP tersebut mendesak untuk segera disahkan, karena UU KUHP baru akan berlaku pada 2 Januari 2026.
Selain itu, pengesahan RUU KUHAP dinilai penting karena KUHAP merupakan hukum formal yang mengoperasikan pemberlakuan KUHP sebagai hukum materiel.
RUU KUHAP ini sudah berorientasi pada KUHP yang disusun dengan merujuk pada paradigma hukum pidana modern yaitu pada keadilan korektif, keadilan rehabilitatif, dan keadilan restoratif.
Oleh karena itu, keadilan restoratif juga dimungkinkan di dalam RUU KUHAP untuk semua tingkatan yaitu Kepolisian, Pengadilan, Kejaksaan, bahkan sampai ketika orang tersebut merupakan penghuni lembaga pemasyarakatan.
Nilai Lebih RUU KUHAP
Di awal pembahasan RUU KUHAP, Pemerintah dan Komisi III DPR telah mengklasifikasi 29 klaster masalah RUU KUHAP, yaitu pemblokiran, penghapusan istilah penyidik utama, penuntut umum tertinggi, penyandang disabilitas, kebutuhan khusus dan kelompok rentan.
Selanjutnya, pengawasan penyelidikan, penjelasan intimidasi, kewenangan penuntut umum dalam menghentikan penuntutan melalui denda damai, mekanisme restorative justice.
Dalam RUU KUHAP ini memuat materi terkait penguatan perlindungan hak-hak tersangka, terpidana, korban, sanksi, bantuan hukum, pendampingan advokat, perlindungan dari ancaman intimidasi.
Penguatan peran advokat mencakup pendampingan advokat kepada tersangka dan terdakwa di setiap tahap pemeriksaan.
Kemudian setelah selesainya pembahasan RUU KUHAP, Komisi 3 DPR RI berhasil mengklasifikasi permasalahan dalam materi RUU KUHAP menjadi 14 materi terkait revisi hukum acara pidana dalam KUHAP baru, yaitu:
1). Penyesuaian hukum acara pidana dengan memperhatikan perkembangan hukum nasional dan internasional.
2). Penyesuaian pengaturan hukum acara pidana dengan nilai-nilai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang menekankan orientasi restoratif, rehabilitatif, dan restitutif guna mewujudkan pemulihan keadilan substansi dan hubungan sosial antara pelaku, korban, dan masyarakat.
3). Penegasan prinsip diferensiasi fungsional dalam sistem peradilan pidana, yaitu pembagian peran yang proporsional antara penyidik, penuntut umum, hakim, advokat, dan pemimpin kemasyarakatan.
4). Perbaikan pengaturan mengenai kewenangan penyelidik, penyidik, dan penuntut umum, serta penguatan koordinasi antarlembaga untuk meningkatkan efektivitas dan akuntabilitas sistem peradilan pidana.
5). Penguatan hak-hak tersangka, terdakwa, korban, dan saksi, termasuk hak atas bantuan hukum, pendampingan advokat, hak atas peradilan yang adil, dan tidak memihak, serta perlindungan terhadap ancaman, intimidasi, atau kekerasan dalam setiap tahap penegakan hukum.
6). Penguatan peran advokat sebagai bagian integral sistem peradilan pidana, mencakup kewajiban pendampingan dan pemberian bantuan hukum cuma-cuma oleh negara.
7). Pengaturan mekanisme keadilan restoratif (restorative justice) sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan, yang dapat dilakukan sejak tahap penyelidikan hingga pemeriksaan di pengadilan.
8). Perlindungan khusus terhadap kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas, perempuan, anak, dan lanjut usia, disertai kewajiban aparat untuk melakukan asesmen dan menyediakan sarana dan prasarana pemeriksaan yang ramah.
9). Penguatan perlindungan penyandang disabilitas dalam setiap tahap pemeriksaan.
10). Perbaikan pengaturan tentang upaya paksa untuk menjamin penerapan prinsip perlindungan HAM dan due process of law, termasuk pembatasan waktu syarat penetapan dan mekanisme kontrol yudisial melalui izin pengadilan dan atas tindakan aparat penegak hukum.
11). Pengenalan mekanisme hukum baru dalam hukum acara pidana, antara lain pengakuan bersalah bagi terdakwa yang kooperatif dengan imbalan keringanan hukuman dan perjanjian penundaan penuntutan bagi pelaku tindak pidana korporasi.
12). Pengaturan prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi.
13). Pengaturan hak kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi secara lebih tegas sebagai hak hukum korban dan pihak yang dirugikan akibat kesalahan prosedur atau kekeliruan penegakan hukum.
14). Modernisasi hukum acara pidana untuk mewujudkan proses peradilan yang cepat, sederhana, transparan, dan akuntabel.