Lamongan | antarwaktu.com – Sengketa hektaran tanah negara di pesisir Lamongan, tepatnya di Desa Weru, Kecamata Paciran Lamongan terus berkepanjangan. Pasalnya tanah yang di jual ke warga dengan dalih untuk pembangunan Breakwater itu terus meluas.
Bahkan persoalan tersebut dirasakan ada kejanggalan oleh warga setempat, baik legalitas maupun hasil dari penjualan. Sebagaimana diketahui awalnya lokasi tersebut dikira lahan kas desa, namun ternyata lokasi itu merupakan tanah negara.
Berbagai upaya sudah dilakukan warga, terkait sengketa tanah tersebut, namun belum menuai sesuai yang mereka harapkan. Merasa kecewa dan ada kekhawatiran terkait sengketa tanah tersebut, puluhan warga Desa Weru, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, kembali melakukan upaya lain, yakni mengadu ke DPRD Lamongan.
Dengan menggunakan beberapa kendaraan roda 4 beserta poster protesnya, puluhan warga mendatangi kantor DPRD Lamongan. Selanjutnya dilakukan hearing dengan anggota Komisi A DPRD Lamongan.
Turut hadir dalam hearing tersebut, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Kabupaten Lamongan, Camat Paciran, dan Kepala Desa (Kades) beserta seluruh anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Weru.
Hamzah Fansyuri mengatakan jika, pertemuan siang itu, Rabu (16/08/2023), menerima aduan warga Desa Weru, Kec Paciran, terkait masalah sengketa tanah.
“Jadi pertemuan itu membahas soal dugaan jual beli tanah yang dilakukan Pemerintah Desa Weru kepada warganya dengan pembayaran sejumlah uang. Pertemuan itu sekaligus untuk mengetahui status tanah yang lokasinya berada di bibir pantai,” kata Ketua Komisi A DPRD Lamongan pada awak media.
“Sebagaimana keterangan dan aduan masyarakat, yang ingin mengelola tanah dilokasi itu, warga dimintai sumbangan untuk membangun breakwater (pemecah ombak), padahal breakwater sudah terbangun sebelumnya, Sedangkan breakwater itu sudah dibangun.
Dari penjelasan unsur BPD, Kepala Desa dan Bagian Hukum serta Bagian Pemerintahan sudah bisa kami ambil kesimpulanya, dimana tanah itu bukanlah tanah desa, apalagi tanah kas desa. Tetapi tanah itu adalah tanah yang di kuasai negara atau Tanah Negara, “usai memimpin hearing tersebut.
“Setelah hearing ini, selanjutnya kita serahkan kepada inspektorat Lamongan untuk melakukan pemeriksaan. Yang jelas, melihat status tanahnya saja kan tanah negara, berarti tidak ada legalitas yang jelas.
Tapi nanti kita tunggu hasilnya dari Inspektorat, karena akan ditindaklanjuti dengan laporan tertulis dan pemeriksaan,” pungkas politisi muda asal PAN itu.
Sementara itu kepada awak media, Syaiful Islami mengelak jika sengketa tanah didesanya disebut transaksi jual beli tanah.
“Kegiatan itu dilaksanakan oleh panitia yang sudah dibentuk. Nanti kita akan ikuti bagaimana alurnya Inspektorat. Pemerintah Desa hanya sekedar membackingi, karena semuanya adalah panitia, ” kata Kades Weru kepada awak media.
“. Jadi bagi donatur yang ingin menyumbang diberikan hak untuk kepemilikannya. Tapi tidak berupa jual beli tanah, dari donatur iti untuk pembangunan breakwater, ” tepis Kades Weru.
Anehmya Kades Weru juga mengakui dan mengerti jika lahan yang luasnya sekitar 1170 meter persegi itu adalah Tanah Negara.
“Iya, sudah tahu kalau itu tanah negara. Kalau dikatakan sebagai tanah kas desa, itu hanya persepsi mereka (warga) saja, ” pungkasnya dengan mimik gugup.
Sebelumnya, ratusan warga yang tergabung dalam Paguyuban Nelayan Weringin, Desa Weru, Kecamatan Paciran, menggeruduk balai desa setempat, Senin (31/07) malam, dengan membawa sejumlah spanduk yang menuntut kepada pemerintah desa agar menghentikan penjualan aset tanah kas Desa Weru.
Warga menganggap jika tanah di bibir pantai tersebut merupakan warisan nenek moyang yang harus dijaga. Selain itu warga juga menilai laporan hasil penjualan aset tersebut tidak transparan, yang totalnya ditafsir mencapai miliyaran rupiah.
“Prosesnya mulai sejak bulan November lalu. Sedangkan harganya menyesuaikan ukuran, yakni sekitar 100 sampai 150 ribu per meter persegi. Sehingga dari data yang kami simpan, jumlah uang yang masuk dari penjualan tanah itu sekitar 2,3 miliyar rupiah, baik tanah sebelah barat maupun sebelah timurnya Masjid, ” kata Sofyan Ashuri, selaku perwakilan warga Weru usai hearing di ruang Banggar.
“Jumlah pembeli ada 12 dan 6 (18). Tapi kalau sebelah timurnya masjid ada 10 pembeli, dan itu sudah clear semua. Tapi setelah unjuk rasa kemarin para pembeli minta pembatalan, sehingga pihak panitia atau pemerintah desa harus mengembalikan uang-uang itu dan mengembalikan tanah itu ke desa,” tandasnya.
Disinggung soal bukti pembelian, Sofyan mengaku hanya diberikan bukti berupa piagam dan kwitansi yang tertulis sumbangan, “Ada yang 1 kali, 2 kali pembayaran. Bahkan ada yang bayar tunai. Tapi hanya diberi kwitansi sumbangan, ” jelasnya.(tris)